OBROLAN DI WARUNG MAKAN

Rabu, 27 Januari 2010

Judul di atas adalah sebuah judul artikel hasil fotocopy dari seorang ikhwan yang ia berikan di sebuah warung makan.. Sempat lama artikel tersebut tak ku sentuh, apalagi ku baca. Namun entah apa yang menggerakkan tangan ini sehingga ia menuju sehelai kertas fotocopy ini.
Artikel ini di angkat oleh seorang
dosen katanya, aku
pun tak mengenal. Beliau bernama Mujiburrahman. Silakan simak isi dari artikel yang membuka pola pikir ku akan apa yang telah pahami.







Suatu hari di tahu 1997, saya dan sejumlah teman berjalan jalan di pantai kuta, bali. Melihat pantai yang panjang nan indah, yang di jilati oleh air lautyang berdesir gemuruh, memang sangat mengasyikkan. Tapi ada pemandangan lain yang tak kalah menarik, yaitu fenomena turis turis mancanegara, baik yang berkulit putih, hitam, atau pucat. Salah seorang teman saya , seorang pria yang masih bujangan, rupanya benar benar terpesona dengan turis turis perempuan yang berpakaian bikini. Matanya terbelalak dan mulutnya komat kamit.
Setelah berjalan agak jauh dari turis turis tersebut, saya iseng mencoba tuk menanyai teman kita ini.
A : “Apa yang kamu u
capkan saat komat kamit tadi?”
B : “ Saya mengucapkan istighfar”
C : “ Buat apa kamu baca istighfar?”
B : “ Yah, biar imbang aja….. Sekalipun aku mendapat dosa lantaran melihat aurat,
semoga dengan istighfar tersebut dapat menghapus dosa ku dan mendapat
ampunan dari tuhan.”
A dan C : “ wak wak wak
Bagi saya
perilaku teman kita ini, walau terkesan naif, adalah bentuk sikap jujur pada diri sendiri. Ia mengakui secara naluriah bahwa ia tertarik akan apa yang ia lihat, namun disaat yang sama, ia juga menyadari bahwa apa yang ia lihat merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama. Istighfar yang diucapkannya merupakan bentuk pengakuan akan kelemahan dirinya menghadapi godaan. Tak ada pura pura atau sandiwara. Kelemahan diri diakui sebagaimana adanya. Inilah sikap rendah hati.
Namun kita dapat pula menemuka kenyataan sebaliknya. Konon ada seorang pejabat ketika di depan publik sangat bersemangat mendukung perda romadhon. Namun sebenarnya dalam kehidupan pribadi, dia sering kali tidak berpuasa. Kepurapuraan ini tak hanya menimpa politisi, tapi dapat pula menyerang seorang pemuka agama. Saya beberapa kali mendengar ceramah atau khotbah yang di sampaikan oleh orang yang berpakaian jubah dan serban laksana ulama besar, tetapi membaca ayat dan haditssaja dia salah. Ada juga orang yang tak pernah mendalami ilmu-ilmu agama, tetapi ketika di forum diskusi tentang agama, dia seolah olah paling
ahli dan paling gampang menyalah kan orang lain.
Emha Ainun Najib (1994) pernah menulis tentang perdebatan 2 orang pemuka agama mengenai apakah musik dapat di terima dalam pandangan islam atau tidak. Ustdz yang pertama menyatakan dapat diterima, sedangkan ustdz yang kedua dengan yakin menyatakan bahwa musik di haramkan. Debat itu panas dan tak menemukan kesepakatan. Namun pada saat yang sama, terdengar alunan musik dari jauh. Yang menarik adalah reaksi dari ustdz yang mengharamkan musik. Diam-diam kaki beliau bergerak mengikuti alunan musik, dan terlihat menikmati alunan musik yang terdengar tersebut.

Demikianlah, keketatan berpegang pada hukum keagamaan yang berifat formal kadangkala justru menimbulkan kontradiksi. Mungkin inilah sebabnya dalam ajaran agama disebutkan bahwa derajat manusia ditentukan oleh ketakwaannya.
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Qur’an surat al hujarat ayat 13.
Nabi pernah bersabda “takwa itu berada di sini”. Dan membeikan isyarat dengan tangan nya ke dada. Ini artinya, takwa itu adalah sesuatu yang sangat rahasia dan pribadi. Karena itu yang dapat mengetahui kadar ketakwaan seseorang hanya Alloh saja. Maka apapun penampakan lahir dari keber-agama-an dari seseorang, seseorang sesungguhnya kita tidak berhak menghakiminya.
Para ulama sufi lebih jauh lagi mengajarkan bahwa seorang mukmin tidak boleh merasa yakin seratus persen bahwa dirinya diridhoi oleeh Alloh, dan sebaliknya tidak boleh pula berputus asa bahwa Alloh tidak akan mengampuni. Seorang mukmin harus meletakkan diri diantara kedua posisi itu, yakni antara takut (khuwf) akan kemurkaan Alloh dan harap (raja’) akan rahmat Alloh. Sikap yang seperti ini jelas akan melahirkan kerendahan hati dalam beragama. Inilah tampaknya yang di isyarat kan oleh doa dalam surat al-fatihah yang berulang kali kita baca dalam sholat
$tRÏ÷d$# xÞºuŽÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ
6. Tunjukilah Kami jalan yang lurus,
Sikap rendah hati itu tercermin dangan baik dalam syair abunawas yang artinya antara lain : “wahai tuhan ku, aku memang tak pantas di surga, tapi ku tak kuat masuk neraka. Karena itu, berilah aku taubat dan pengampunan.”
Demikian pula, dengan jujur Ahmad Wahib, dalam catatan hariannya tertanggal 18 mei 1969 menulis : “Tuhan aku menghadap-Mu bukan hanya di saat-saat aku cinta pada-Mu, tetapi juga disaat-saat aku mau memberontak terhadap kekuasaan-Mu. Dengan demikian, Robbi, aku mengharap cintaku pada-Mu akan pulih kembali; aku tidak bisa menunggu cinta untuk sebuah sholat.
Banyak Sisi
Selain bersifat rahasia dan tidak pasti, keber-agama-an itu memiliki banyak sisi. Agama adalah ajaran yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang sangat rumit dan kompleks. Ketaatan menjalankan sholat, puasa, dan haji misalnya, hanya salah satu sisi saja dari keber-agama-an manusia. Bisa saja terjadi, ada orang yang taat ibadah, tetapi tidak memiliki kepedulian sama sekali. Sebaliknya ada orang yang kurang taat beribadah, tetapi memiliki rasa tanggungjawab sosial yang tinggi. Ada juga orang yang taat beribadah, peduli kepada sesama, tetapi malah terlibat dalam perusakan lingkungan.
Baru-baru ini, sebuah skripsi yang ditulis oleh Siti Rabul Lisa, mahasiswa Fakultas Ushuludin, meneliti keber-agama-an para buruh rotan di sebuah perusahaan di daerah ini. Para buruh itu rata-rata hanya berpendidikan SD, dan gajinya sangat rendah, yakni hanya berkisar antara 10 ribu rupiah sampai 15 ribu rupiah saja perhari. Mereka harus bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore, diselingi istirahat 1 jam, dari jam 12.00 s.d 13.00. Mahasiswi kita ini menanyai 20 orang buruh; apakah mereka melaksanakan sholat dzuhur ktika istirahat? Hampir semua yang ditanya menjawab ‘tidak’ dengan alasan badan kotor, tak ada mushola yang dekat , dan waktu yang sempit. Sebagian kecil ada yang melaksanakan sholat, dan sebagian lagi mengaku mengqodho ketika pulang. Menariknya, ada sejumlah orang yang mengaku tidak sanggup puasa di bulan romadhon, tetapi di malam hari mereka aktif sholat tarwih berjamaah.
Mungkin bagi orang yang rajin sholat dan puasa, dengan serta merta menilai bahwa keber-agama-an buruh rotan tersebut tidak baik. Tetapi kalau kita mau bersikap lebih terbuka, sesungguhnya ketaatan beribadah hanya salah satu sisi keber-agama-an manusia.
Banyak di antara buruh itu mengatakan bahwa mereka mau bekerja kerasmeskipun dengan gaji yang rendah karena ingin mendapat rezeki yang halal. Ada pula yang mengatakan bahwa mereka bekerja untuk membantui suami atau orang tua demi menghidupi keluarga. Bukan kah ini berarti bahwa mereka juga menjalankan ajaran agama tentang keharusan mencari nafkah yang halal? Selain itu, bukan kah dengan pendidikan rendah, gaji kecil, waktu istirahat yang sempit, tantangan untuk menjalankan agama justru lebih berat? Ternyata dalam keadaan seperti itu, masih ada orang-orang yang taat beribadah!
Alhasil, kerendahan hati pada dasarnya adalah sikap obyektif terhadap kenyataan, baik terhadap diri sendiri apalagi terhadap orang lain. Kerendahan hati bukanlah rendah hati atau minder, bukan pula menghina diri. Sebagaimana kesombongan, rasa rendah hati adalah sikap obyektif karena ia adalah buah dari kesadaran bahwa manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Hanya Dia Yang Maha Sempurna. Oleh Mujiburrahman

0 tanggapan:

Posting Komentar